Senin, 22 Oktober 2012

hukum Indonesia peninggalan penjajah


Seperti yang telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku saat ini di Indonesia masih memerlukan banyak pembaharuan karena dirasa sistem hukum yang ada saat ini tidak memihak kepada rakyat tetapi lebih memihak kepada penguasa. Kita tahu bahwa hukum di Indonesia ini adalah peninggalan kolonial, Hukum Penjajahan kolonial itu “hukum yang mengancam rakyat”.

Tidak ada hukum kolonial mengancam penjajahan, tidak ada penguasa terancam hukum, yang ada kekuasaan mengancam rakyat sebagai bangsa yang dijajah dengan hukum penjajahan. Jadi kalau sekarang ini ada istilah “penegak hukum”, aparat-aparat penegak hukum berarti menegakan hukum kolonial. 

Bukankah itu berarti juga “melestarikan hukum kolonial” sebagai hukum negara Indonesia merdeka ? hukum dengan pasal-pasal dan junto-juntonya semua diarahkan untuk mengancam rakyat. Tidak ada hukum kolonial yang mengancam Bupati, mengancam Gubernur, mengancam menteri sampai Presiden sebab saat itu aparat negara kolonial itu adalah semua aparat penjajahan.

Walaupun pernah dinyatakan didalam GBHN 1999-2002 (Tap MPR No. IV/MPR/1999, Bab III tentang visi dan misi) ditetapkan politik hukum nasional, yaitu “perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Dengan politik hukum ini, masyarakat hukum Indonesia hendak mewujudkan tata/sistem hukumnya sendiri, yaitu tata hukum Indonesia sebagai negara yang merdeka, dan bukan tata hukum kolonial yang telah menindasnya. Tetapi dalam implementasinya sampai saat ini negara Indonesia masih cenderung menggunakan hukum yang lebih memihak penguasa dari pada memihak kepada rakyat.

Masih berlakunya produk-produk hukum kolonial memang ditolerir berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan alasan, untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Menurut kami itu bukan alasan, bukan persoalan das sein dan das sollen, karena jika beralasan itu semua karena das sein dan das sollen berarti 2 hal ini adalah sebuah alasan untuk tidak mewujudkan sebuah cita-cita. Masih banyaknya produk hukum warisan kolonial, karena sesuai politik hukum yang digariskan dalam GBHN, baik GBHN 1999-2004 maupun sebelumnya, penyusunan produk-produk baru diprioritaskan bagi materi hukum yang mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Dalam GBHN 1999 bab IV A butir 7 dinyatakan, bahwa pengembangan peraturan perundang-undangan diarahkan pada perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas.

Dapat diartikan, jika wacana diatas disesuaikan dengan GBHN lalu yang menjadi pertanyaansudah sesuaikah dengan dasar negara pancasila? Dan apakah pembaharuan sistem hukum itu hanya menyentuh masalah perekonomian untuk perdagangan bebas?

Sementara dapat kita ketahui bahwa efek pasar bebas saat ini dapat membunuh industri kecil dalam negeri. Dan jika pemerintah benar-benar ingin bersaing dipasar bebas, realisasi apa yang sudah dilakukan untuk memajukan industri dalam negeri ? pembaharuan sistem penegakan hukum adalah pembaruan secara menyeluruh pada bidang-bidang hukum, bukan pembaharuan dalam arti secara tambal sulam atau oplosan yaitu sebagian hukum kolonial sebagian hukum Indonesia. “minuman saja jika dioplos bisa bahaya, sama halnya seperti hukum jika dioplos maka akan menjadi seperti sekarang ini. Bahwa hukum itu hanya untuk orang-orang lemah, orang bawah, rakyat akar rumput. Sedangkan hukum untuk penguasa tidak ada, inilah yang kami maksud “hukum itu tajam kebawah, tetapi tumpul dan lembek keatas”.

Berikut ini adalah hasil pemaparan terhadap suatu wacana mengenai “sistem hukum yang dicita-citakan rakyat Indonesia di luar hukum peninggalan penjajah”. Hukum yang seharusnya mengayomi dan bukan hukum yang menjadi suatu alat untuk menindas dan apalagi menakuti rakyat.

Sebagai mahasiswa fakultas hukum hanya mencoba menggambarkan apa yang seharusnya ada dalam sistem pembaharuan hukum di Indonesia berdasarkan perenungan dalam melihat sistem hukum di Indonesia, mengambil beberapa sumber hanya sebagai bahan referensi bukan sebagai turutan, walaupun dalam buku ini banyak turutan. Kalau semua turutan itu dipakai maka akan hancur. Karena negara ini bukan milik individu tetapi seluruh rakyat Indonesia dari sabang sampai merauke. Kalau ada 10 turutan saja, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, mau nurut siapa?





Hukum penjajahan kolonial itu “hukum yang mengancam rakyat”. Tidak ada hukum kolonial mengancam penjajahan, tidak ada penguasa terancam hukum, yang ada kekuasaan mengancam rakyat sebagai bangsa yang dijajah dengan hukum penjajahan. Jadi kalau sekarang ini ada istilah “Penegak Hukum”, aparat-aparat penegak hukum berarti menegakan hukum kolonial. Bukankah itu berarti juga “melestarikan hukum kolonial” sebagai hukum Negara Indonesia Merdeka ? hukum dengan pasal-pasal dan junto-juntonya semua diarahkan untuk mengancam rakyat. Tidak ada hukum kolonial yang mengancam bupati, mengancam gubernur, mengancam menteri sampai presiden sebab saat itu Aparat Negara Kolonial itu adalah semua aparat penjajahan.

Jelaslah bahwa hukum Indonesia yang dipakai sampai sekarang ini sebagai “alat kekuasaan negara untuk menghukum rakyat bangsa Indonesia” yang memegang kedaulatan terhadap negerinya. Ini sungguh aneh dan mengherankan. Itu yang disebut fenomena hukum nasional kita. Fenomena Nasional di bidang Hukum Negara dimana rakyat yang berdaulat atas tanah air “malah diancam hukuman dan dihukum oleh para pemimpin bangsanya yang dipilih rakyat untuk melaksanakan ujudnya amanat penderitaan rakyat”. Suatu kondisi kehidupan bangsa yang ironis, “berdaulat tetapi dihukum oleh pemimpinya sendiri”.

Cobalah kita lihat di depan mata, di depan hidung kita masih tampak jelas suatu kejadian di dalam negeri Indonesia merdeka ini dimana rakyat berdaulat atas Tanah Air beserta kekayaan yang terkandung didalamnya. Disana ada perkebunan Negara BUMN yang oleh rakyat dianggap sebagai perkebunan negara berarti miliknya bangsa Indonesia. tetapi orang yang berdaulat mengambil coklat hanya 3 biji, ingin dicicipi rasanya karena haus “ditangkap polisi”, diadili dalam suatu peradilan negara oleh jaksa “dituntut hukuman”. Oleh para hakim diputuskan harus dihukum dijatuhi hukuman dengan vonis peradilan negara.

Ada contoh lain yang bisa kita lihat di televisi. Masih sama seperti kasus diatas bahwa dikatakan juga perusahaan milik negara. Ada sisa-sisa limbah produksi yang mungkin bisa dikatakan sebagai sampah, sudah tidak dipakai, sisa-sisa kapas diambil rakyat, yang mengambil itu juga divonis dengan vonis peradilan negara dan yang berperan dalam peradilan ini adalah polisi sebab polisilah yang menyidik kasus yang menyatakan “itu pencurian”. Yang ironis lagi ada orang mengambil “satu buah semangka”, itu juga disidik sebagai “kasus pencurian” oleh polisi kemudian dihantar kesidang pengadilan negara dan yang mengambil semangka itu dihukum.

Hal semacam ini perlu menjadi sorotan oleh orang-orang bangsa Indonesia yang berjiwa Nasionalis, yang berjiwa kebangsaan, yang masih mencintai bangsa dan tanah airnya.

Untuk dimengerti dan dipahami bahwa “Sistem Hukum semacam ini” tidak sesuai dengan harapan bangsa Indonesia yang berjuang dengan korbanan jiwa raga, dengan susah payahmengucurkan keringat dan darah untuk kemuliaan hidup bersama didalam suatu negara yang bersatu, berdaulat dengan terujudnya kesejahteraan dan terujudnya ketentraman hidup yang terjamin, terujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. masyarakat bangsa itu menghendaki hidup aman, tenteram jelaslah bahwa Penyelenggaraan Negara harus bisa mengujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kami meyakini bahwa hukum itu ada untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar tercipta suatu kondisi yang tertib, teratur, aman dan tenteram dan tercipta apa yang disebut dengan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beragama dan bermasyarakat.

Secara normatif kasus-kasus pencurian kecil diatas memang melanggar hukum, secara normatif memang harus diproses, hukum harus ditegakan, tetapi penegak hukum juga sebaiknya memperhatikan 3pilar hukum. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu terjadi karena tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat. Kami menyakini, jika negara dapat mensejahterakan rakyatnya maka kemungkinan tidak akan ada kasus pencurian semacam itu. Kasus pencurian semacam itu menurut kami wajar karena faktor kemiskinan, ini yang harus menjadi perhatian pemerintah. Tetapi yang menurut kami yang tidak wajar adalah penegakan hukumnya. Bahwa selalu tajam kebawah tetapi tumpul keatas.

Kalau kita memakai Landasan Hukum Nasional yang dilahirkan bersama Undang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Nasional, yaitu hukum dasar negara yang memberikan sangsi kepada semua aparatur negara diberbagai kelembagaan kalau melanggar Undang-undang dasar dengan Undang-undang bagi kelembagaan negara fungsional. Karena demokrasi Indonesia itu demokrasi terpimpin yaitu terpimpin oleh asas dan tujuan pembangunan bangsa, juga disebut sebagai asa pembangunan nasional yaitu terujudnya amanat penderitaan rakyat sebagai arah bagi kepala negara dan lembaga-lembaga negara dibawahnya dan dengan satu turutan yaitu konstitusi nasional. Jadi semua lembaga negara, semua birokrasi didalam menjalankan tugas dan kewajibanya itu “terpimpin oleh asas tujuan dan konstitusi nasional” maka dengan itu para fungsional lembaga hukum negara pun harus terpimpin. Hukum nasional harus mengabdi kepada kepentingan rakyat bangsa mengujudkan asas dan tujuan nasionalnya. Lembaga hukum nasional harus tunduk kepada Undang-undang Dasar. Segenap keputusan hukum harus mengabdi kepada terujudnya kehendak rakyat.

Karena hukum nasional kita adalah hukumnya rakyat, rechtnya Indonesia adalah rechtnya rakyat, hukum Indonesia adalah hukumnya rakyat. Ini dasar-dasar hukum yang dilahirkan bersama Undang-undang Dasar 1945 sebagai Undang-undang Dasar produk perjuangan Bangsa Indonesia. disini yang ada “kebenaran Hukum Nasional”, tidak ada berebut kebenaran hukum. Jadi jelaslah karena hukum nasional Indonesia yang berlaku sampai saat ini 65 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini dijerat oleh “hukum tinggalan kolonial” dan hukum kolonial ini adalah hukumnya kekuasaan kolonial ini adalah hukumnya kekuasaan kolonial memang untuk menghukum bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah, “diancam hukuman” oleh kekuasaan kolonial siapapun yang menentang peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan kolonial.Polisi Indonesia itu lebih mirip seperti tentara zombie yang haus darah, dan siap untuk menghisap darah rakyat kecil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar